Tampilkan postingan dengan label Tahun 1963. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tahun 1963. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 Juli 2015

TAHUN 1963 

HARI SOSIAL KE VI


 




Kupu-kupu merupakan salah satu jenis binatang yang memiliki beragam spesies di Indonesia. Di mata dunia, Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia dengan jumlah keanekaragaman yang tinggi yaitu sebanyak 2.500 jenis dan hanya terpaut dari Brazil yang mencapai 3.000 jenis kupu-kupu. Daerah yang menjadi kerajaan kupu-kupu (The Kingdom of Butterfly) di Indonesia adalah di Sulawesi, salah satunya di kabupaten Maros dengan kawasan konservasinya yang kaya dengan aneka jenis kupu-kupu.
 Beberapa jenis kupu-kupu yang terdapat di Indonesia merupakan jensi spesies langka dan dilindungi oleh negara. Berikut ulasan selengkapnya.
Spesies kupu-kupu langka #1: Kupu-Kupu Bidadari
Nama latin: Cethosia myrina
Nama lain: Kupu-kupu sayap renda, brown accented butterfly
Keterangan: Kupu-kupu ini merupakan satwa endemik di daerah Sulawesi khususnya di bagian Utara dan Selatan. Kupu-kupu ini memiliki lebar sayap mencapai 7,5 cm.
Gambar:
kupu-kupu sayap bidadari

Spesies kupu-kupu langka #2: Kupu-kupu sayap burung peri
Nama latin: Ornithoptera chimaera
Nama lain: Chimaera Birdwing
Status konservasi: Near Threatened
Keterangan: dapat ditemukan di beberapa lokasi di Papua dan Papua Nugini, kupu-kupu ini memiliki rentang sayap yang dapat mencapai 7 hingga 15 cm pada kupu-kupu jantan.
Gambar:
kupu-kupu sayap burung peri

Spesies kupu-kupu langka #3: Kupu-kupu sayap burung surga
Nama latin: Ornithoptera paradisea
Nama lain: Butterfly of Paradise
Status konservasi: Least Concern
Keterangan: ditemukan di beberapa lokasi di papua dan papua nugini. Spesies jantannya memiliki waena hitam dengan kombinasi hijau keemasan di bagian sayapnya, sedangkan sang betina berwarna coklat tua. Rentang sayap kupu-kupu ini adalah 14-19 cm.
Gambar:
kupu-kupu sayap burung surga

Spesies kupu-kupu langka #4: Kupu-kupu raja
Nama latin: Troides andromache
Nama lain: borneo birdwing
Status konservasi: near threatened
Keterangan: Kupu-kupu ini terdapat di beberapa wilayah di Indonesia dan Malaysia dengan sayap yang besar dan berwarna orange.
Gambar:
kupu-kupu raja

Spesies kupu-kupu langka #5: Kupu-kupu Burung Titon
Nama latin: Ornithoptera tithonus
Nama lain: Tithonus birdwing
Status Konservasi IUCN Red List: Data Deficient (DD)
Keterangan: ditemukan di Indonesia
Gambar:
kupu-kupu burung titon

Kelima kupu-kupu termasuk beberapa spesies kupu-kupu yang saat ini tergolong langka untuk didapatkan.
*) http://www.satwa.net/

Prangko Seri : "HARI SOSIAL KE VI"
Tanggal Penerbitan : 20 DESEMBER 1963

Selasa, 05 Mei 2015

TAHUN 1963 

GANEFO IGAME OF THE NEW EMERGING FORCES








 

Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang atau Games of the New Emerging Forces (GANEFO), adalah suatu ajang olahraga yang didirikan mantan presiden IndonesiaSoekarno, pada akhir tahun 1962 sebagai tandingan Olimpiade. GANEFO menegaskan bahwa politik tidak bisa dipisahkan dengan olahraga, hal ini menentang doktrin Komite Olimpiade Internasional (KOI) yang memisahkan antara politik dan olahraga.
Indonesia mendirikan GANEFO setelah kecaman KOI yang bermuatan politis pada Asian Games 1962, karena Indonesia tidak mengundang Israel dan Taiwan dengan alasan simpati terhadap Cina dan negara-negara Arab. Aksi ini diprotes KOI karena Israel dan Taiwan merupakan anggota resmi KOI. Akhirnya KOI menangguhkan keanggotaan Indonesia, dan Indonesia diskors untuk mengikuti Olimpiade Musim Panas 1964 di Tokyo. Ini pertama kalinya KOI menangguhkan keanggotaan suatu negara.


*)Dari Wikipedia
Prangko Seri : Ganefo I
Tanggal Penerbitan : 10 November 1963

Minggu, 03 Mei 2015

Tahun 1963 

HARI BANK NASIONAL





PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. atau biasa dikenal dengan BNI merupakan salah satu penyedia jasa perbankan terkemuka di Indonesia. BNI pertama kali didirikan pada tanggal 5 Juli 1946 sebagai bank pertama yang dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia secara resmi. Debut pertama BNI sejak awal berdirinya dengan mengedarkan ORI (Oeang Republik Indonesia) yang merupakan alat pembayaran pertama yang resmi sejak tanggal 30 Oktober 1946. Hari tersebut sekarang diperingati sebagai Hari Keuangan Nasional, sedangkan hari berdirinya BNI tanggal 5 Juli diperingati sebagai Hari Bank Nasional. Peran BNI sebagai bank sirkulasi atau bank sentral mulai dibatasi oleh Pemerintah seiring dengan penunjukan bank warisan Belanda De Javsche Bank sebagai Bank Sentral sejak tahun 1949. Selanjutnya BNI diberikan hak sebagai bank devisa selain berperan sebagai bank pembangunan dengan memiliki akses transaksi langsung ke luar negeri. Status BNI kemudian berubah menjadi bank komersial milik pemerintah dengan penambahan modal yang dilakukan pada tahun 1955. Hal ini menjadikan pelayanan BNI berjalan semakin baik seiring dengan hadir-nya dukungan bagi sektor usaha nasional.

Prangko ISTIMEWA : Seri "Hari Bank Nasional"
Tanggal Penerbitan : 5 Juli 1963

Koleksi yang dimiliki : Sampul Hari Pertama
Jumlah Koleksi : 1 buah


Sabtu, 02 Mei 2015

TAHUN 1963 

BENCANA ALAM '63


Prangko Seri : Bencana Alam '63
Tanggal Penerbitan : 29 Juni 1963

Jumat, 01 Mei 2015

TAHUN 1963

SATU ABAD PALANG MERAH





Perang Solferino
Pada tanggal 24 Juni 1859 di Solferino, sebuah kota kecil yang terletak di daratan rendah Propinsi Lambordi, sebelah utara Italia, berlangsung pertempuran sengit antara prajurit Perancis dan Austria. Pertempuran yang berlangsung sekitar 16 jam dan melibatkan 320.000 orang prajurit itu, menelan puluhan ribu korban tewas dan luka-luka. Sekitar 40 ribu orang meninggal dalam pertempuran.

Banyaknya prajurit yang menjadi korban, dimana pertempuran berlangsung antar kelompok yang saling berhadapan, memang merupakan karakteristik perang yang berlangsung pada jaman itu. Tak ubahnya seperti pembantaian massal yang menghabisi ribuan orang pada satu waktu. Terlebih lagi, komandan militer tidak memperhatikan kepentingan orang yang terluka untuk mendapatkan pertolongan dan perawatan. Mereka hanya dianggap sebagai ‘makanan meriam’. Ribuan mayat tumpang tindih dengan mereka yang terluka tanpa pertolongan. Jumlah ahli bedah pun sangat tidak mencukupi. Saat itu, hanya ada empat orang dokter hewan yang merawat seribu kuda serta seorang dokter untuk seribu orang. Pertempuran tersebut pada akhirnya dimenangkan oleh Perancis.

Akibat perang dengan pemandangannya yang sangat mengerikan itu, menggugah Henry Dunant, seorang pengusaha berkebangsaan Swiss (1828 – 1910) yang kebetulan lewat dalam perjalanannya untuk menemui Kaisar Napoleon III guna keperluan bisnis. Namun menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan akibat pertempuran,  membuat kesedihannya muncul dan terlupa akan tujuannya bertemu dengan kaisar. Dia mengumpulkan orang-orang dari desa-desa sekitarnya, dan tinggal di sana selama tiga hari untuk dengan sungguh-sungguh menghabiskan waktunya untuk merawat orang yang terluka.

Ribuan orang yang terluka tanpa perawatan dan dibiarkan mati di tempat karena pelayanan medis yang tidak mencukupi jumlahnya dan tidak memadai dalam tugas/keterampilan, membuatnya sangat tergugah. Kata-kata bijaknya yang diungkapkan saat itu, Siamo tutti fratelli (Kita semua saudara), membuka hati para sukarelawan untuk melayani kawan maupun lawan tanpa membedakannya.

Komite Internasional
Sekembalinya Dunant ke Swiss, membuatnya terus dihantui oleh mimpi buruk yang disaksikannya di Solferino. Untuk menghilangkan bayangan buruk dalam pikirannya dan untuk menarik perhatian dunia akan kenyataan kejamnya perang, ditulisnya sebuah buku dan diterbitkannya dengan biaya sendiri pada bulan November 1862. Buku itu diberi judul “Kenangan dari Solferino” (Un Souvenir De Solferino).

Buku itu mengandung dua gagasan penting yaitu:
>    Perlunya mendirikan perhimpunan bantuan di setiap negara yang terdiri dari sukarelawan untuk merawat orang yang terluka pada waktu perang.
>    Perlunya kesepakatan internasional guna melindungi prajurit yang terluka dalam medan perang dan orang-orang yang merawatnya serta memberikan status netral kepada mereka.

Selanjutnya Dunant mengirimkan buku itu kepada keluarga-keluarga terkemuka di Eropa dan juga para pemimpin militer, politikus, dermawan dan teman-temannya. Usaha itu segera membuahkan hasil yang tidak terduga. Dunant diundang kemana-mana dan dipuji dimana-mana. Banyak orang yang tertarik dengan ide Henry Dunant, termasuk Gustave Moynier, seorang pengacara dan juga ketua dari The Geneva Public Welfare Society (GPWS). Moynier pun mengajak Henry Dunant untuk mengemukakan idenya dalam pertemuan GPWS yang berlangsung pada 9 Februari 1863 di Jenewa. ternyata, 160 dari 180 orang anggota GPWS mendukung ide Dunant. Pada saat itu juga ditunjuklah empat orang anggota GPWS dan dibentuklah KOMITE LIMA untuk memperjuangkan terwujudnya ide Henry Dunant.  Mereka adalah :
  1. Gustave Moynier
  2. dr. Louis Appia
  3. dr. Theodore Maunoir
  4. Jenderal Guillame-Hendri Dufour

Adapun Henry Dunant, walaupun bukan anggota GPWS, namun dalam komite tersebut ditunjuk menjadi sekretaris. Pada tanggal 17 Februari 1863, Komite Lima berganti nama menjadi Komite Tetap Internasional untuk Pertolongan Prajurit yang Terluka sekaligus mengangkat ketua baru yaitu jenderal Guillame – Henri Dufour.

Pada bulan Oktober 1863, Komite Tetap Internasional untuk Pertolongan Prajurit yang Terluka, atas bantuan Pemerintah Swiss, berhasil melangsungkan Konferensi Internasional pertama  di Jenewa yang dihadiri perwakilan dari 16 negara (Austria, Baden, Beierem, Belanda, Heseen-Darmstadt, Inggris, Italia, Norwegia, Prusia, Perancis, Spanyol, Saksen, Swedia, Swiss, Hannover,dan Hutenberg). Beberapa Negara tersebut saat ini sudah menjadi Negara bagian dari Jerman.

Adapun hasil dari konferensi tersebut, adalah disepakatinya satu konvensi yang terdiri dari sepuluh pasal, beberapa diantaranya merupakan pasal krusial yaitu  digantinya nama Komite Tetap Internasional untuk Menolong Prajurit yang Terluka menjadi KOMITE INTERNASIONAL PALANG MERAH atau ICRC (International Committee of the Red Cross) dan ditetapkannya tanda khusus bagi sukarelawan yang memberi pertolongan prajurit yang luka di medan pertempuran yaitu Palang Merah diatas dasar putih.

Pada akhir konferensi internasional 1863, gagasan pertama Dunant – untuk membentuk perhimpunan para sukarelawan di setiap negara pun menjadi kenyataan Beberapa perhimpunan serupa dibentuk beberapa bulan kemudian setelah konferensi internasional di Wurttemburg, Grand Duchy of Oldenburg, Belgia dan Prusia. Perhimpunan lain mengikuti seperti di Denmark, Perancis, Italy, Mecklenburgh-schwerin, Spain, Hamburg dan Hesse. Pada waktu itu mereka disebut sebagai Komite Nasional atau Perhimpunan Pertolongan.

Selanjutnya, dengan dukungan pemerintah Swiss kembali, diadakanlah Konferensi Diplomatik yang dilaksanakan di Jenewa pada tanggal 8 sampai 28 Augustus 1864. 16 negara dan empat institusi donor mengirimkan wakilnya. Sebagai bahan diskusi, sebuah rancangan konvensi disiapkan oleh Komite Internasional. Rancangan tersebut dinamakan “Konvensi Jenewa untuk memperbaiki kondisi tentara yang terluka di medan perang” dan disetujui pada tanggal 22 Agustus 1864. Lahirlah HPI modern. Konvensi itu mewujudkan ide Dunant yang kedua, yaitu untuk memperbaiki situasi prajurit yang terluka pada saat peperangan dan membuat negara-negara memberikan status netral pada prajurit yang terluka dan orang-orang yang merawatnya yaitu personil kesehatan.

Prangko Peringatan Seri "SATU ABAD PALANG MERAH"
Tanggal Penerbitan : 8 Mei 1963

Kamis, 30 April 2015

TAHUN 1963 

MERAH PUTIH





Warna merah-putih bendera negara diambil dari warna panji atau pataka Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur pada abad ke-13. Akan tetapi ada pendapat bahwa pemuliaan terhadap warna merah dan putih dapat ditelusuri akar asal-mulanya dari mitologi bangsa Austronesia mengenai Bunda Bumi dan Bapak Langit; keduanya dilambangkan dengan warna merah (tanah) dan putih (langit). Karena hal inilah maka warna merah dan putih kerap muncul dalam lambang-lambang Austronesia — dari Tahiti, Indonesia, sampai Madagaskar. Merah dan putih kemudian digunakan untuk melambangkan dualisme alam yang saling berpasangan. Catatan paling awal yang menyebut penggunaan bendera merah putih dapat ditemukan dalam Pararaton; menurut sumber ini disebutkan balatentara Jayakatwang dari Gelang-gelang mengibarkan panji berwarna merah dan putih saat menyerangSinghasari. Hal ini berarti sebelum masa Majapahit pun warna merah dan putih telah digunakan sebagai panji kerajaan, mungkin sejak masa Kerajaan Kediri. Pembuatan panji merah putih pun sudah dimungkinkan dalam teknik pewarnaan tekstil di Indonesia purba. Warna putih adalah warna alami kapuk atau kapas katun yang ditenun menjadi selembar kain, sementara zat pewarna merah alami diperoleh dari daun pohon jati, bunga belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi), atau dari kulit buah manggis.
Sebenarnya tidak hanya kerajaan Majapahit saja yang memakai bendera merah putih sebagai lambang kebesaran. Sebelum Majapahit, kerajaan Kediri telah memakai panji-panji merah putih. Selain itu, bendera perang Sisingamangaraja IX dari tanah Batak pun memakai warna merah putih sebagai warna benderanya , bergambar pedang kembar warna putih dengan dasar merah menyala dan putih. Warna merah dan putih ini adalah bendera perang Sisingamangaraja XII. Dua pedang kembar melambangkan piso gaja dompak, pusaka raja-raja Sisingamangaraja I-XII. Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran. Di zaman kerajaan Bugis Bone,Sulawesi Selatan sebelum Arung Palakka, bendera Merah Putih, adalah simbol kekuasaan dan kebesaran kerajaan Bone.Bendera Bone itu dikenal dengan nama Woromporang. Panji kerajaan Badung yang berpusat di Puri Pamecutan juga mengandung warna merah dan putih, panji mereka berwarna merah, putih, dan hitam yang mungkin juga berasal dari warna Majapahit.
Pada waktu perang Jawa (1825-1830 M) Pangeran Diponegoro memakai panji-panji berwarna merah putih dalam perjuangannya melawan Belanda. Kemudian, warna-warna yang dihidupkan kembali oleh para mahasiswa dan kemudian nasionalis di awal abad 20 sebagai ekspresi nasionalisme terhadap Belanda. Bendera merah putih digunakan untuk pertama kalinya di Jawa pada tahun 1928. Di bawah pemerintahan kolonialisme, bendera itu dilarang digunakan. Bendera ini resmi dijadikan sebagai bendera nasional Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, ketika kemerdekaan diumumkan dan resmi digunakan sejak saat itu pula. 

Prangko Istimewa "Merah Putih dari Sabang sampai Merauke"

Tanggal Terbit : 1 Mei 1963

Rabu, 29 April 2015

TAHUN 1963 

PAMERAN NASIONAL PHILATELI DAN KONGGRES KE I DI SURABAJA



VANDA TRICOLOR

Lereng Selatan Gunung Merapi yang terletak di Kabupaten Sleman Jogjakarta masih menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Vegetasi yang menutupi wilayah ini meliputi padang rumput, semak belukar dan vegetasi pohon besar. Struktur vegetasi demikian merupakan habitat yang cocok bagi kehidupan anggrek, baik itu anggrek tanah maupun anggrek epifit. Eksplorasi dan identifikasi yang dilakukan BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Yogyakarta menemukan sekitar 53 jenis anggrek alam. Sebagian besar anggrek tersebut adalah epifit (menempel pada batang pohon). Salah satu anggrek khas daerah ini yang hampir punah keberadaannya di lereng Selatan Merapi adalah Vanda tricolor.
Anggrek berbunga putih dengan bercak totol ungu kemerahan ini dulunya sangat banyak dan tumbuh liar di pohon dadap, angsana dan pohon-pohon tahunan lainnya. Akan tetapi, bencana semburan awan panas pada tahun 1994 telah menghanguskan 80 % habitat asli anggrek ini. Belum lagi kebakaran besar di hutan lindung dan Cagar Alam Plawangan Turgo pada tanggal 16-20 Oktober 2002, ditambah ancaman awan panas pada tahun 2006 yang semakin mengancam keberadaan anggrek species merapi di alam. Disamping faktor alam, faktor sosialpun sangat berpengaruh besar terhadap populasi anggrek ini. Masyarakat sekitar banyak yang mengkoleksi kemudian menjualnya kepada nursery-nurseri atau para pemesan dari luar kota. Akibat dari semua itu, saat ini hamper tidak mungkin lagi menjumpai anggrek tersebut di habitat aslinya.
Wujud upaya pelestarian yang telah dilakukan BKSDA untuk meningkatkan populasi vanda tricolor adalah melaksanakan usaha penangkaran yang berbasiskan kemasyarakatan dengan membentuk 5 kelompok tani konservasi dari 3 Kecamatan di Lereng Selatan Gunung Merapi. Upaya budidaya yang dilakukan kelima kelompok tani tersebut dinilai masih kurang optimal. Ketidaktepatan teknik budidaya yang dilakukan menyebabkan lambatnya pertumbuhan dan perkembangbiakan Vanda tricolor.
Dengan hasil budidaya yang masih minim, pada tahun 2002, BKSDA membeli 80 batang dari kelima kelompok tani konservasi tersebut kemudian merelokasikannya ke blok Tlogo Muncar, Kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Plawangan Turgo. Akan tetapi setahun kemudian, dari observasi penulis yang dilakukan pada tahun 2004, dari 80 batang hanya 36 batang yang tersisa, 15 batang diantaranya dalam kondisi kritis. Masalah yang saat ini dihadapi adalah bagaimana memperbaiki teknik budidaya maupun teknik relokasi dengan pendekatan agronomis yang meliputi pengelolaan terhadap lingkungan tumbuh serta pengelolaan terhadap tanaman itu sendiri sehingga menciptakan interaksi positif yang mendukung pertumbuhan dan perkembangbiakan Vanda tricolor serta meningkatkan kemampuan hidupnya di habitat relokasi.*)
*) http://anggrek.org
Sampul Peringatan : "PAMERAN NASIONAL PHILATELI DAN KONGGRES KE I DI SURABAJA"
Tanggal Penerbitan : 29 APRIL 1963


Selasa, 28 April 2015

TAHUN 1963

KONFERENSI WARTAWAN ASIA-AFRIKA (KWAA)





KONFERENSI WARTAWAN ASIA - AFRIKA SEBAGAI MIMBAR BUNG KARNO



Oleh :A. Umar Said
Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (7)
Ada satu hal yang selama lebih dari 32 tahun jarang disebut-sebut, sehingga banyak orang yang sudah tidak ingat lagi, atau bahkan tidak tahu (terutama generasi muda sekarang), walaupun hal itu pernah menjadi "national event" (peristiwa nasional) dan bahkan juga "international event" yang cukup berkumandang luas waktu itu. Peristiwa nasional (dan international) penting ini adalah Konferensi Wartawan Asia-Afrika (KWAA) yang diadakan di Jakarta antara tanggal 24 April sampai 1 Mei 1963 di Jakarta. Oleh karena pentingnya peran Bung Karno atas terselenggaranya KWAA, maka sudah sepatutnyalah bahwa dalam rangka Peringatan HUT ke-100 Bung Karno masalah ini dikenang kembali bersama-sama.
Bagi banyak wartawan anggota PWI di seluruh Indonesia waktu itu, KWAA adalah suatu kenangan yang menimbulkan rasa bangga. Sebab, KWAA adalah suatu konferensi internasional yang diselenggarakan untuk pertama kalinya oleh para wartawan Indonesia sendiri, dengan mendapat dukungan yang besar secara nasional. Untuk penyelenggaraan konferensi yang besar itu, banyak cabang PWI mengumpulkan dana dengan mengadakan "lelang KWAA" di berbagai kota besar, termasuk di Istana Bogor. Banyak gubernur atau pembesar daerah ikut memberikan fasilitas kepada PWI setempat untuk terlaksananya pengumpulan dana itu (antara lain : gubernur Sutedja di Bali dan Ulung Sitepu di Sumatra Utara).
Dalam rangka ini, peran Bung Karno adalah besar sekali. Sebab ketika delegasi PWI Pusat (dipimpin oleh Djawoto, ketua PWI Pusat dan tokoh besar kantor berita Antara sejak zaman Yogya) menghadap Bung Karno akhir 1962 untuk menyampaikan gagasan tentang penyelenggaraan KWAA, Bung Karno segera menyetujuinya. Berita persetujuan Bung Karno ini kemudian menjadi cambuk bagi banyak wartawan Indonesia untuk segera melaksanakan gagasan ini. Pada mulanya, gagasan untuk menyelenggarakan Konferensi Wartawan Asia-Afrika telah lahir di Bandung dalam tahun 1955 ketika sejumlah wartawan Indonesia membicarakan perlunya dibentuk suatu organisasi wartawan Asia-Afrika untuk mengumandangkan semangat dan keputusan-keputusan Konferensi Bandung ke dunia internasional. Pembicaraan itu telah dilakukan antara wartawan-wartawan Indonesia dan sejumlah wartawan-wartawan Asia-Afrika, yang meliput konferensi yang bersejarah itu.
Kemudian, gagasan ini mulai melangkah ke tahap realisasinya, ketika sejumlah wartawan Indonesia menghadiri kongres International Organisation of Journalists (IOJ) di Budapest bulan Oktober 1962. Tanda-tangan dari berbagai delegasi organisasi wartawan negeri-negeri Asia-Afrika yang hadir dalam kongres itu telah dapat dikumpulkan, sebagai persetujuan tentang diselenggarakannya KWAA di Indonesia. Berdasarkan persetujuan itulah, maka kemudian dibentuk Panitia KWAA di Jakarta, dengan kerjasama yang erat dengan PWI Pusat.
ARTI BESAR KESUKSESAN KWAA
Bagi mereka yang masih bisa membaca penerbitan Indonesia (suratkabar, majalah dll) sekitar akhir tahun 1962 sampai pertengahan tahun 1963, akan jelaslah betapa besarnya kumandang KWAA waktu itu, baik selama persiapan-persiapannya, waktu terselenggaranya, dan juga sesudahnya. Konferensi yang diselenggarakan di Wisma Warta (Jalan Thamrin, yang sekarang dirombak menjadi Plaza Indonesia/Grand Hyat Hotel) menjadi pusat perhatian dunia internasional waktu itu. Wajar, sebab selain para pesertanya adalah pada umumnya wartawan-wartawan Asia-Afrika yang terkemuka di negeri masing-masing, juga banyak wartawan-wartawan asing (Eropa dll) yang meliput peristiwa itu.
Dengan tujuan untuk melestarikan dengan setia jiwa Konferensi Asia-Afrika di Bandung (18-25 April tahun 1955) maka Panitia KWAA telah menetapkan bahwa konferensi yang bersejarah secara internasional itu perlu diselenggarakan tepat sewindu (8 tahun) sesudahnya, yaitu antara 24 April-sampai 1 Mei 1963. Jiwa Konferensi Bandung inilah yang menjadi dasar pembimbing segala kegiatan Panitia KWAA (dalam surat-surat, seruan, undangan, pernyataan dll). Karena itu pulalah maka KWAA mempunyai daya tarik yang besar bagi banyak fihak, baik secara nasional maupun secara internasional.
KWAA merupakan alat yang dibutuhkan waktu itu bagi perjuangan rakyat berbagai negeri Asia-Afrika dalam memperjuangkan kemerdekaan nasional mereka, atau untuk memperkokoh kemerdekaan yang sudah dicapai, dalam menghadapi imperialisme dan neo-kolonialisme, waktu itu!. Berikut adalah sekadar bahan untuk ingatan bersama tentang situasi nasional dan internasional waktu itu : dalam tahun-tahun 62-63 baru ada 8 negeri Afrika yang bebas, Aljazair baru merebut kemerdekaannya dari Prancis dengan bantuan negara-negara Arab, di Mozambigue dan Angola mulai ada pembrontakan melawan Portugal, di Africa Selatan gerakan melawan Apartheid yang dipimpin oleh ANC (Nelson Mandela dkk) dan PAC makin membesar, Timur Tengah merupakan gudang mesiu peperangan, perang di Indo-Cina makin berkobar, dan ketegangan antara RRT dan AS berlangsung terus. Sedangkan di Indonesia sendiri : pembrontakan PPRI-Permesta baru beberapa tahun diselesaikan secara tuntas (1960-1961), Manipol-Usdek dideklarasikan oleh Bung Karno, kampanye konfrontasi Malaysia dilancarkan (1963), percobaan pembunuhan dengan granat terhadap Bung Karno di Makasar (Januari 1962).
Dalam situasi nasional dan internasional yang demikian itulah Panitia Pusat KWAA harus bekerja. Banyak wartawan-wartawan anggota PWI Cabang Jakarta telah dengan sukarela menyumbangkan tenaga (tanpa imbalan uang sedikit pun), dan bekerja keras siang malam. Sebab, waktu yang tersedia hanyalah 4-5 bulan saja, untuk menyelenggarakan konferensi yang besar ini. Berkat kerja keras para wartawan yang menyumbangkan tenaga mereka dalam Panitia, maka KWAA dapat diselenggarakan dengan sukses. Kesuksesan ini dikonfirmasi oleh pernyataan berbagai fihak bahwa KWAA adalah konferensi yang bisa menjadi contoh bagi konferensi-konferensi lainnya. (Umpamanya, dalam bidang keuangan, KWAA adalah satu-satunya konferensi yang mengambil inisiatif untuk minta kepada suatu kantor akuntan supaya memeriksa pengelolaan dana atau pembukuannya. Hasil pemeriksaan akuntan ini kemudian diumumkan oleh KB Antara dan dimuat oleh pers)
KWAA ADALAH CORONG KONFERENSI BANDUNG
Mengingat berbagai faktor situasi nasional dan internasional waktu itu, maka dapat dimengertilah kiranya bahwa ada orang-orang yang waktu itu secara sinis mengatakan bahwa KWAA adalah corong Bung Karno. Kalau dilihat dari sudut-pandang positif, ungkapan semacam itu tidaklah sepenuhnya salah. KWAA telah dilahirkan dengan tujuan untuk mengumandangkan terus atau melestarikan jiwa atau prinsip-prinsip Konferensi Bandung, dan mempersatukan wartawan-wartawan berbagai negeri Asia-Afrika dalam perjuangan-bersama untuk merealisasikan prinsip-prinsip tersebut. Karena politik Bung Karno adalah sejalan dan senyawa dengan jiwa Konferensi Bandung, maka tidak salah kalau dikatakan bahwa KWAA telah menjadi corong politik Bung Karno di skala internasional. (Dengan kacamata ini, maka akan hilanglah konotasi negatif kata corong). Sebab, kalau diperas dalam kalimat yang sederhana dapatlah dirumuskan bahwa jiwa Bung Karno dan jiwa Konferensi Bandung adalah SATU.
Kalau direnungkan dalam-dalam, maka benarlah bahwa KWAA telah menjadikan diri sebagai mimbar emas bagi Bung Karno untuk mengumandangkan gagasan-gagasannya yang besar. Mimbar emas ini telah disediakan atau dibangun bersama-sama oleh para wartawan peserta konferensi. Ini kelihatan jelas sekali dari pidato-pidato yang diucapkan oleh para peserta. Boleh dikatakan, semua delegasi menyebut arti penting Konferensi Bandung dan banyak yang menghargai politik Bung Karno dalam membantu perjuangan rakyat-rakyat Asia-Afrika dalam melawan imperialisme dan neo-kolonialisme. Jadi, singkatnya, KWAA adalah konferensi yang jiwanya, pada pokoknya, adalah anti-imperialisme dan neo-kolonialisme, seiring dengan perkembangan situasi internasional waktu itu.
KWAA telah melahirkan PWAA (Afro-Asian Journalists Association - AAJA). Komposisi anggota Sekretariat Permanen PWAA (Persatuan Wartawan Asia-Afrika) yang berkedudukan di Jakarta, yang terdiri dari 11 negeri (5 Asia dan 5 Afrika dan satu Sekjen) mencerminkan dengan gamblang arah yang ditempuh oleh PWAA. Mereka ini, yang dari Asia adalah perwakilan organisasi wartawan : Tiongkok, Jepang, Indonesia, Srilanka dan Siria. Yang dari Afrika : Aljazair, Mali, Afrika Selatan, Tanzania, dan Kamerun.
Untuk menduduki jabatan Sekjen PWAA, para peserta konferensi telah memilih wartawan Indonesia terkemuka Djawoto. Dan ketika tidak lama kemudian Bung Karno mengangkatnya sebagai Duta Besar Indonesia untuk RRT, maka PWAA telah memilih wartawan terkemuka Joesoef Isak sebagai Pejabat Sekjen.
KONFERENSI BANDUNG KEHILANGAN API
Adalah amat penting untuk diketahui oleh generasi sekarang (dan juga generasi yang akan datang), bahwa Indonesia, di bawah kepemimpinan Bung Karno, pernah memainkan peran penting dalam perjuangan rakyat berbagai negeri Asia-Afrika. Tetapi, setelah Bung Karno digulingkan oleh Suharto dkk. maka peran Indonesia yang pernah dikagumi banyak orang itu, makin lama makin hilang dari panggung internasional. Dengan hilangnya Bung Karno dari kepemimpinan nasional dan dilumpuhkannya kekuatan progresif yang mendukungnya, maka pamor nama Indonesia menjadi pudar. Dengan hilangnya Bung Karno, maka api Konferensi Bandung tidak bisa lagi berkobar seperti biasanya, dan, bahkan, secara perlahan-lahan menjadi padam. Namun, betapapun juga, nama Bung Karno dan Konferensi Bandung tetap tercetak dengan huruf emas dalam sejarah dunia, terutama sejarah perjuangan rakyat-rakyat Asia-Afrika.
Bagi para diplomat Indonesia yang berjuang (mohon perhatian bahwa kata berjuang dipakai di sini), di berbagai KBRI di banyak negeri waktu itu nyata sekali gejala yang demikian ini. Juga bagi banyak tokoh ormas Indonesia yang bekerja di berbagai organisasi internasional seperti : Organisasi untuk Setiakawan Rakyat Asia-Afrika (OSRAA) di Cairo, Sekretariat Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Colombo, Sekretariat Konferensi Jurist Asia-Afrika di Conakri (Guinea), Gabungan Serikatburuh Sedunia (WFTU) di Praha, Gabungan Pemuda Demokratik Sedunia (WFDY) di Budapest, Persatuan Mahasiswa Sedunia (IUS) di Praha, Organisasi Wartawan Sedunia (IOJ) di Praha, Gabungan Wanita Demokratik Sedunia di Berlin dan organisasi-organisasi internasional lainnya, termasuk Persatuan Wartawan Asia-Afrika.
Dalam kaitan itu semuanya dan dalam rangka memperingati HUT ke-100 Bung Karno, maka adalah menarik untuk sama-sama kita telaah berbagai gejala atau perkembangan setelah tergulingnya Bung Karno oleh para pendiri Orde Baru/Golkar, yang antara lain adalah sebagai berikut :

- Naiknya Suharto di tampuk pimpinan negara dengan menggulingkan Bung Karno, dan didirikannya rezim militer Orde Baru/Golkar, mengakibatkan nama Indonesia menjadi terpuruk di mata banyak gerakan rakyat Asia-Afrika dan dunia umumnya. Penggulingan Bung Karno yang didahului oleh pembunuhan jutaan warganegara Indonesia dan diiringi pula oleh pemenjaraan ratusan ribu orang tidak bersalah selama puluhan tahun, mereka anggap sebagai noda besar atau dosa monumental.

- Ketokohan besar Bung Karno sebagai pemimpin bangsa tidak bisa ditiru atau digantikan oleh Suharto (atau tokoh Orde Baru lainnya!). Karena, ketokohan Bung Karno ini telah dibangun dalam perjuangannya sejak tahun 1926, dan sejak dalam penjara Sukamiskin (Bandung). Ketokohannya ini sudah muncul dalam Indonesia Menggugat. Dari latar-belakang sejarah yang ini saja sudah nampak perbedaannya yang besar dengan ketokohan Suharto. Kepemimpinan Suharto selama Orde Baru makin menunjukkan dengan jelas perbedaan yang besar antara mereka.

- Kalau Bung Karno melahirkan sejumlah gagasan-gagasan besar tentang perjuangan untuk kepentingan rakyat dan pembangunan bangsa (ingat, antara lain : Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945) maka pengalaman selama lebih dari 32 tahun menunjukkan bahwa Suharto (dan kawan-kawannya di Orde Baru/Golkar) tidak bisa menciptakan gagasan-gagasan besar. Bahkan sebaliknya, Suharto beserta Orde Baru/Golkar-nya telah merusak gagasan-gagasan besar Bung Karno, yang akibatnya adalah keadaan seperti yang sedang dihadapi oleh bangsa dan negara kita dewasa ini.

PERISTIWA PENTING YANG DILUPAKAN

Dengan melihat latar-belakang yang demikian, maka orang bisa mengerti mengapa setelah Bung Karno digulingkan oleh para pendiri Orde Baru/Golkar, maka banyak hal yang bersangkutan dengan KWAA atau PWAA kemudian juga seolah-olah menghilang dari persoalan bangsa Indonesia. Disebabkan oleh politik Orde Baru, maka semakin lama semakin banyak orang yang melupakannya. Bahkan, banyak orang yang sekarang ini tidak tahu bahwa ada peristiwa yang begitu penting dalam sejarah dunia kewartawanan Indonesia.

Politik Orde Baru adalah, sebisa mungkin (dan dengan segala cara) mengkerdilkan atau menghilangkan peran Bung Karno dalam segala hal, termasuk juga hal-hal yang berkaitan dengan terselenggaranya KWAA. Orde Baru melihat hubungan yang erat antara politik Bung Karno dengan arah politik Konferensi Bandung dan arah politik yang dianut oleh KWAA (dan PWAA). Di antara cara-cara untuk mengkerdilkan atau menghilangkan peran Bung Karno adalah, antara lain : disebarkannya fitnah, insinuasi, atau ungkapan-ungkapan negatif seperti : Bung Karno adalah megalomaniac (gila terhadap segala yang besar), seorang demagog (pembangkit semangat rakyat demi kekuasaan), seorang yang suka menonjolkan diri, seorang yang menyukai kultus individu, seorang yang mengutamakan gebyar, dan segala macam cap negatif lainnya, yang selama ini sudah kita dengar.
Pengalaman penyelenggaraan KWAA menunjukkan bahwa penghormatan kalangan wartawan Indonesia dan negeri-negeri Asia-Afrika (pada waktu itu) bukanlah karena penjilatan, bukan karena permintaannya untuk dihormati atau disanjung-sanjung, dan pastilah bukan pula karena ia seorang yang megalomanic atau demagog. Penghormatan kepadanya adalah karena bagi banyak orang ia memang seorang yang patut dan berhak dihormati, baik secara nasional mau pun internasional. Bung Karno memang adalah orang besar, berkat kebesaran gagasan-gagasan atau ajaran-ajarannya, yang dibutuhkan untuk menjawab perkembangan situasi pada masanya.

Pidatonya di depan KWAA adalah salah satu contoh di antara berbagai gagasannya yang besar. Hampir selama satu jam ia berbicara (dalam bahasa Inggris yang mempesonakan banyak peserta) tentang situasi Indonesia waktu itu, tentang tugas-tugas revolusi rakyat Indonesia, tentang seruannya kepada wartawan-wartawan Asia-Afrika untuk mengabdikan diri kepada perjuangan rakyat berbagai negeri demi kesejahteraan ummat dan perdamaian. Untuk kesekian kalinya, Bung Karno menunjukkan kepada masyarakat internasional, siapakah dia, apa yang dicita-citakannya. Untuk kesekian kalinya pula ia menunjukkan diri sebagai seorang yang konsisten, atau yang setia, kepada komitmen yang sudah dipikulnya sejak muda, yaitu sebagai seorang pejuang revolusioner yang gigih..
KWAA sudah terjadi 37 tahun yang lalu. Zaman pun sudah berobah, situasi dalamnegeri dan situasi internasional juga sudah mengalami perobahan-perobahan yang tidak kecil. Namun, adalah sayang sekali bahwa peristiwa yang penting ini tidak pernah diperingati secara layak sejak lahirnya Orde Baru. Gara-gara politik anti-Sukarno yang dianut Orde Baru, maka para wartawan Indonesia pun banyak yang takut, atau enggan, untuk menulis soal konferensi besar yang pernah menjadi kebanggaan nasional dan internasional ini. Di samping itu, mungkin tidak banyak lagi bahan atau dokumen tentang KWAA ini yang bisa ditemukan sekarang ini.
Itulah sebabnya, ketika penulis sedang mengetik artikel ini di computer sambil mendengarkan kembali piringan hitam (diproduksi oleh Lokananta, perusahaan Kementerian Penerangan) yang berisi pidato Bung Karno di depan KWAA (tanggal 24 April 1963), maka terbayang kembalilah kebesaran jiwa konferensi itu, dan kemegahan sosok Bung Karno di depan mata para wartawan Asia-Afrika yang menghadiri peristiwa penting itu. (Penjelasan : piringan hitam itu berjudul : Message of H.E. President Soekarno, on the opening ceremony of the First Asian African Journalists Association).
Sungguh, para pembaca yang budiman, mendengarkan kembali pidato Bung Karno di depan sidang pembukaan KWAA itu bisa mengingatkan orang bahwa Bung Karno memang orang besar bangsa. Sayang, bahwa ia telah menjadi korban kejahatan politik para pendiri Orde Baru/Golkar!
Paris, Tue, 17 Apr 2001 20:03:19 +0200
P.S. Penulis adalah salah seorang yang ikut mengumpulkan tanda-tangan di Budapest tahun 1962, dan menjadi anggota Panitia Pusat KWAA di Jakarta.

Prangko Seri : "KONFERENSI WARTAWAN ASIA AFRICA"
Tanggal Penerbitan : 24 April 1963