TAHUN 1966
Prangko Amal Seri "Bentjana Alam Nasional, Bunga Seri 3"
Waru atau
baru (
Hibiscus tiliaceus,
suku kapas-kapasan atau
Malvaceae), juga dikenal sebagai
waru laut, dan
dadap laut (Pontianak) telah lama dikenal sebagai pohon peneduh tepi jalan atau tepi sungai dan pematang serta pantai. Walaupun tajuknya tidak terlalu rimbun, waru disukai karena akarnya tidak dalam sehingga tidak merusak jalan dan bangunan di sekitarnya. Waru dapat diperbanyak dengan di
stek. Namun, aslinya tumbuhan ini diperbanyak dengan biji. Memakai stek untuk perkembanganbiakan waru agak sulit, karena
tunas akan mudah sekali terpotong.
Waru masih semarga dengan kembang sepatu. Tumbuhan ini asli dari daerah tropika di Pasifik barat namun sekarang tersebar luas di seluruh wilayah Pasifik dan dikenal dengan berbagai nama: hau (bahasa Hawaii), purau (bahasa Tahiti), beach Hibiscus, Tewalpin, Sea Hibiscus, atau Coastal Cottonwood dalam bahasa Inggris.
Pohon kecil, tinggi 5–15 m. Di tanah yang subur tumbuh lebih lurus dan dengan tajuk yang lebih sempit daripada di tanah gersang.
Daun bertangkai, bundar atau bundar telur bentuk jantung dengan tepi rata, garis tengah hingga 19
cm; bertulang daun menjari, sebagian tulang daun utama dengan kelenjar pada pangkalnya di sisi bawah daun; sisi bawah berambut abu-abu rapat. Daun penumpu bundar telur memanjang, 2,5 cm, meninggalkan bekas berupa cincin di ujung ranting.
Bunga berdiri sendiri atau dalam tandan berisi 2–5 kuntum. Daun kelopak tambahan bertaju 8–11, lebih dari separohnya berlekatan. Kelopak sepanjang 2,5 cm, bercangap 5. Daun mahkota bentuk kipas, berkuku pendek dan lebar, 5–7,5 cm, kuning, jingga, dan akhirnya kemerah-merahan, dengan noda ungu pada pangkalnya.Buah kotak bentuk telur, berparuh pendek, beruang 5 tak sempurna, membuka dengan 5 katup. Bijinya kecil, dan berwarna coklat muda.
Akar waru berbentuk tunggang dan berwarna putih kekuningan.
Buah yang memecah
Kemampuan bertahannya tinggi karena toleran terhadap kondisi masin dan kering, juga terhadap kondisi tergenang. Tumbuhan ini tumbuh baik di daerah panas dengan curah hujan 800 sampai 2.000 mm. Waru biasa ditemui di pesisir pantai yang berpasir, hutan bakau, dan juga di wilayah riparian. Waru tumbuh liar di hutan dan di ladang, kadang-kadang ditanam di pekarangan atau di tepi jalan sebagai pohon pelindung. Pada tanah yang subur, batangnya lurus, tetapi pada tanah yang tidak subur batangnya tumbuh membengkok, percabangan dan daun-daunnya lebih lebar.H. tiliaceus tumbuh alami di pantai-pantai Asia Tenggara, Oceania dan Australia utara dan timur. Diintroduksi ke Australia barat daya, Afrika bagian selatan, serta Hawaii; di mana menjadi liar di sana.
Kayu terasnya agak ringan, cukup padat, berstruktur cukup halus, dan tak begitu keras; kelabu kebiruan, semu ungu atau coklat keunguan, atau kehijau-hijauan. Liat dan awet bertahan dalam tanah, kayu waru ini biasa digunakan sebagai bahan bangunan atau perahu, roda pedati, gagang perkakas, ukiran, serta kayu bakar. Dari kulit batangnya, setelah direndam dan dipukul-pukul, dapat diperoleh serat yang disebut lulup waru. Serat ini sangat baik untuk dijadikan tali. Serat
ini juga merupakan bahan yang penting, dan berasal dari pepagan waru dan dipakai untuk membuat tali. Tali ini, selanjutnya dipergunakan sebagai bahan dasar membuat jaring dan tas-tas kasar.Simplisia
yang digunakan dari tumbuhan waru untuk pengobatan adalah daun dan bunganya
. Daunnya mengandung saponin, flavonoida, dan polifenol, sedangkan akarnya mengandung saponin, flavonoida, dan tanin. Daunnya dapat dijadikan pakan ternak, atau yang muda, dapat pula dijadikan sayuran. Bisa juga, untuk menggantikan daun jati dalam proses peragian kecap. Daun yang diremas dan dilayukan digunakan untuk mempercepat pematangan bisul. Daun muda yang diremas digunakan sebagai bahan penyubur rambut. Daun muda yang direbus dengan gula batu dimanfaatkan untuk melarutkan (mengencerkan) dahak pada sakit batuk yang agak berat. Kuncup daunnya digunakan untuk mengobati berak darah dan berlendir pada anak-anak. Akar tanaman waru bisa dipakai untuk obat demam. Berdasarkan hasil penelitian, serat yang dihasilkan waru pendek dan kurang baik sebagai bahan pulp. Di Jawa, kayunya dipakai untuk bahan bakar.Daunnya juga digunakan sebagai pembungkus ikan segar oleh pedagang di pasar dan pedagang ikan keliling.Bunga waru dapat dijadikan jam biologi. Bunganya mekar di pagi hari dengan mahkota berwarna kuning. Di siang hari warnanya berubah jingga dan sore hari menjadi merah, sebelum akhirnya gugur.Legenda masyarakat penghuni Pulau Jawa menyatakan, kuntilanak menyukai pohon waru yang tumbuh miring (waru doyong) sebagai tempat bersemayamnya.
Prangko Amal: Seri "Bentjana Alam Nasional 1966-Bunga Seri 3"
Tanggal Penerbitan 02 Mei 1966
Tidak ada komentar:
Posting Komentar