TAHUN 1963
KONFERENSI WARTAWAN ASIA-AFRIKA (KWAA)
KONFERENSI WARTAWAN ASIA - AFRIKA SEBAGAI MIMBAR BUNG KARNO
Oleh :A. Umar Said
Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (7)
Ada satu hal yang selama lebih dari 32 tahun jarang disebut-sebut, sehingga
banyak orang yang sudah tidak ingat lagi, atau bahkan tidak tahu (terutama
generasi muda sekarang), walaupun hal itu pernah menjadi "national event"
(peristiwa nasional) dan bahkan juga "international event" yang cukup
berkumandang luas waktu itu. Peristiwa nasional (dan international) penting
ini adalah Konferensi Wartawan Asia-Afrika (KWAA) yang diadakan di Jakarta
antara tanggal 24 April sampai 1 Mei 1963 di Jakarta. Oleh karena pentingnya
peran Bung Karno atas terselenggaranya KWAA, maka sudah sepatutnyalah bahwa
dalam rangka Peringatan HUT ke-100 Bung Karno masalah ini dikenang kembali
bersama-sama.
Bagi banyak wartawan anggota PWI di seluruh Indonesia waktu itu, KWAA adalah
suatu kenangan yang menimbulkan rasa bangga. Sebab, KWAA adalah suatu
konferensi internasional yang diselenggarakan untuk pertama kalinya oleh
para wartawan Indonesia sendiri, dengan mendapat dukungan yang besar secara
nasional. Untuk penyelenggaraan konferensi yang besar itu, banyak cabang PWI
mengumpulkan dana dengan mengadakan "lelang KWAA" di berbagai kota besar,
termasuk di Istana Bogor. Banyak gubernur atau pembesar daerah ikut
memberikan fasilitas kepada PWI setempat untuk terlaksananya pengumpulan
dana itu (antara lain : gubernur Sutedja di Bali dan Ulung Sitepu di Sumatra
Utara).
Dalam rangka ini, peran Bung Karno adalah besar sekali. Sebab ketika
delegasi PWI Pusat (dipimpin oleh Djawoto, ketua PWI Pusat dan tokoh besar
kantor berita Antara sejak zaman Yogya) menghadap Bung Karno akhir 1962
untuk menyampaikan gagasan tentang penyelenggaraan KWAA, Bung Karno segera
menyetujuinya. Berita persetujuan Bung Karno ini kemudian menjadi cambuk
bagi banyak wartawan Indonesia untuk segera melaksanakan gagasan ini. Pada
mulanya, gagasan untuk menyelenggarakan Konferensi Wartawan Asia-Afrika
telah lahir di Bandung dalam tahun 1955 ketika sejumlah wartawan Indonesia
membicarakan perlunya dibentuk suatu organisasi wartawan Asia-Afrika untuk
mengumandangkan semangat dan keputusan-keputusan Konferensi Bandung ke dunia
internasional. Pembicaraan itu telah dilakukan antara wartawan-wartawan
Indonesia dan sejumlah wartawan-wartawan Asia-Afrika, yang meliput
konferensi yang bersejarah itu.
Kemudian, gagasan ini mulai melangkah ke tahap realisasinya, ketika sejumlah
wartawan Indonesia menghadiri kongres International Organisation of
Journalists (IOJ) di Budapest bulan Oktober 1962. Tanda-tangan dari
berbagai delegasi organisasi wartawan negeri-negeri Asia-Afrika yang hadir
dalam kongres itu telah dapat dikumpulkan, sebagai persetujuan tentang
diselenggarakannya KWAA di Indonesia. Berdasarkan persetujuan itulah, maka
kemudian dibentuk Panitia KWAA di Jakarta, dengan kerjasama yang erat dengan
PWI Pusat.
ARTI BESAR KESUKSESAN KWAA
Bagi mereka yang masih bisa membaca penerbitan Indonesia (suratkabar,
majalah dll) sekitar akhir tahun 1962 sampai pertengahan tahun 1963, akan
jelaslah betapa besarnya kumandang KWAA waktu itu, baik selama
persiapan-persiapannya, waktu terselenggaranya, dan juga sesudahnya.
Konferensi yang diselenggarakan di Wisma Warta (Jalan Thamrin, yang sekarang
dirombak menjadi Plaza Indonesia/Grand Hyat Hotel) menjadi pusat perhatian
dunia internasional waktu itu. Wajar, sebab selain para pesertanya adalah
pada umumnya wartawan-wartawan Asia-Afrika yang terkemuka di negeri
masing-masing, juga banyak wartawan-wartawan asing (Eropa dll) yang meliput
peristiwa itu.
Dengan tujuan untuk melestarikan dengan setia jiwa Konferensi Asia-Afrika
di Bandung (18-25 April tahun 1955) maka Panitia KWAA telah menetapkan bahwa
konferensi yang bersejarah secara internasional itu perlu diselenggarakan
tepat sewindu (8 tahun) sesudahnya, yaitu antara 24 April-sampai 1 Mei 1963.
Jiwa Konferensi Bandung inilah yang menjadi dasar pembimbing segala kegiatan
Panitia KWAA (dalam surat-surat, seruan, undangan, pernyataan dll). Karena
itu pulalah maka KWAA mempunyai daya tarik yang besar bagi banyak fihak,
baik secara nasional maupun secara internasional.
KWAA merupakan alat yang dibutuhkan waktu itu bagi perjuangan rakyat
berbagai negeri Asia-Afrika dalam memperjuangkan kemerdekaan nasional
mereka, atau untuk memperkokoh kemerdekaan yang sudah dicapai, dalam
menghadapi imperialisme dan neo-kolonialisme, waktu itu!. Berikut adalah
sekadar bahan untuk ingatan bersama tentang situasi nasional dan
internasional waktu itu : dalam tahun-tahun 62-63 baru ada 8 negeri Afrika
yang bebas, Aljazair baru merebut kemerdekaannya dari Prancis dengan bantuan
negara-negara Arab, di Mozambigue dan Angola mulai ada pembrontakan melawan
Portugal, di Africa Selatan gerakan melawan Apartheid yang dipimpin oleh ANC
(Nelson Mandela dkk) dan PAC makin membesar, Timur Tengah merupakan gudang
mesiu peperangan, perang di Indo-Cina makin berkobar, dan ketegangan antara
RRT dan AS berlangsung terus. Sedangkan di Indonesia sendiri : pembrontakan
PPRI-Permesta baru beberapa tahun diselesaikan secara tuntas (1960-1961),
Manipol-Usdek dideklarasikan oleh Bung Karno, kampanye konfrontasi
Malaysia dilancarkan (1963), percobaan pembunuhan dengan granat terhadap
Bung Karno di Makasar (Januari 1962).
Dalam situasi nasional dan internasional yang demikian itulah Panitia Pusat
KWAA harus bekerja. Banyak wartawan-wartawan anggota PWI Cabang Jakarta
telah dengan sukarela menyumbangkan tenaga (tanpa imbalan uang sedikit pun),
dan bekerja keras siang malam. Sebab, waktu yang tersedia hanyalah 4-5 bulan
saja, untuk menyelenggarakan konferensi yang besar ini. Berkat kerja keras
para wartawan yang menyumbangkan tenaga mereka dalam Panitia, maka KWAA
dapat diselenggarakan dengan sukses. Kesuksesan ini dikonfirmasi oleh
pernyataan berbagai fihak bahwa KWAA adalah konferensi yang bisa menjadi
contoh bagi konferensi-konferensi lainnya. (Umpamanya, dalam bidang
keuangan, KWAA adalah satu-satunya konferensi yang mengambil inisiatif
untuk minta kepada suatu kantor akuntan supaya memeriksa pengelolaan dana
atau pembukuannya. Hasil pemeriksaan akuntan ini kemudian diumumkan oleh KB
Antara dan dimuat oleh pers)
KWAA ADALAH CORONG KONFERENSI BANDUNG
Mengingat berbagai faktor situasi nasional dan internasional waktu itu, maka
dapat dimengertilah kiranya bahwa ada orang-orang yang waktu itu secara
sinis mengatakan bahwa KWAA adalah corong Bung Karno. Kalau dilihat dari
sudut-pandang positif, ungkapan semacam itu tidaklah sepenuhnya salah. KWAA
telah dilahirkan dengan tujuan untuk mengumandangkan terus atau melestarikan
jiwa atau prinsip-prinsip Konferensi Bandung, dan mempersatukan
wartawan-wartawan berbagai negeri Asia-Afrika dalam perjuangan-bersama untuk
merealisasikan prinsip-prinsip tersebut. Karena politik Bung Karno adalah
sejalan dan senyawa dengan jiwa Konferensi Bandung, maka tidak salah kalau
dikatakan bahwa KWAA telah menjadi corong politik Bung Karno di skala
internasional. (Dengan kacamata ini, maka akan hilanglah konotasi negatif
kata corong). Sebab, kalau diperas dalam kalimat yang sederhana dapatlah
dirumuskan bahwa jiwa Bung Karno dan jiwa Konferensi Bandung adalah SATU.
Kalau direnungkan dalam-dalam, maka benarlah bahwa KWAA telah menjadikan
diri sebagai mimbar emas bagi Bung Karno untuk mengumandangkan
gagasan-gagasannya yang besar. Mimbar emas ini telah disediakan atau
dibangun bersama-sama oleh para wartawan peserta konferensi. Ini kelihatan
jelas sekali dari pidato-pidato yang diucapkan oleh para peserta. Boleh
dikatakan, semua delegasi menyebut arti penting Konferensi Bandung dan
banyak yang menghargai politik Bung Karno dalam membantu perjuangan
rakyat-rakyat Asia-Afrika dalam melawan imperialisme dan neo-kolonialisme.
Jadi, singkatnya, KWAA adalah konferensi yang jiwanya, pada pokoknya, adalah
anti-imperialisme dan neo-kolonialisme, seiring dengan perkembangan situasi
internasional waktu itu.
KWAA telah melahirkan PWAA (Afro-Asian Journalists Association - AAJA).
Komposisi anggota Sekretariat Permanen PWAA (Persatuan Wartawan
Asia-Afrika) yang berkedudukan di Jakarta, yang terdiri dari 11 negeri (5
Asia dan 5 Afrika dan satu Sekjen) mencerminkan dengan gamblang arah yang
ditempuh oleh PWAA. Mereka ini, yang dari Asia adalah perwakilan organisasi
wartawan : Tiongkok, Jepang, Indonesia, Srilanka dan Siria. Yang dari
Afrika : Aljazair, Mali, Afrika Selatan, Tanzania, dan Kamerun.
Untuk menduduki jabatan Sekjen PWAA, para peserta konferensi telah memilih
wartawan Indonesia terkemuka Djawoto. Dan ketika tidak lama kemudian Bung
Karno mengangkatnya sebagai Duta Besar Indonesia untuk RRT, maka PWAA telah
memilih wartawan terkemuka Joesoef Isak sebagai Pejabat Sekjen.
KONFERENSI BANDUNG KEHILANGAN API
Adalah amat penting untuk diketahui oleh generasi sekarang (dan juga
generasi yang akan datang), bahwa Indonesia, di bawah kepemimpinan Bung
Karno, pernah memainkan peran penting dalam perjuangan rakyat berbagai
negeri Asia-Afrika. Tetapi, setelah Bung Karno digulingkan oleh Suharto dkk.
maka peran Indonesia yang pernah dikagumi banyak orang itu, makin lama makin
hilang dari panggung internasional. Dengan hilangnya Bung Karno dari
kepemimpinan nasional dan dilumpuhkannya kekuatan progresif yang
mendukungnya, maka pamor nama Indonesia menjadi pudar. Dengan hilangnya Bung
Karno, maka api Konferensi Bandung tidak bisa lagi berkobar seperti
biasanya, dan, bahkan, secara perlahan-lahan menjadi padam. Namun, betapapun
juga, nama Bung Karno dan Konferensi Bandung tetap tercetak dengan huruf
emas dalam sejarah dunia, terutama sejarah perjuangan rakyat-rakyat
Asia-Afrika.
Bagi para diplomat Indonesia yang berjuang (mohon perhatian bahwa kata
berjuang dipakai di sini), di berbagai KBRI di banyak negeri waktu itu
nyata sekali gejala yang demikian ini. Juga bagi banyak tokoh ormas
Indonesia yang bekerja di berbagai organisasi internasional seperti :
Organisasi untuk Setiakawan Rakyat Asia-Afrika (OSRAA) di Cairo, Sekretariat
Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Colombo, Sekretariat Konferensi Jurist
Asia-Afrika di Conakri (Guinea), Gabungan Serikatburuh Sedunia (WFTU) di
Praha, Gabungan Pemuda Demokratik Sedunia (WFDY) di Budapest, Persatuan
Mahasiswa Sedunia (IUS) di Praha, Organisasi Wartawan Sedunia (IOJ) di
Praha, Gabungan Wanita Demokratik Sedunia di Berlin dan
organisasi-organisasi internasional lainnya, termasuk Persatuan Wartawan
Asia-Afrika.
Dalam kaitan itu semuanya dan dalam rangka memperingati HUT ke-100 Bung
Karno, maka adalah menarik untuk sama-sama kita telaah berbagai gejala atau
perkembangan setelah tergulingnya Bung Karno oleh para pendiri Orde
Baru/Golkar, yang antara lain adalah sebagai berikut :
- Naiknya Suharto di tampuk pimpinan negara dengan menggulingkan Bung Karno,
dan didirikannya rezim militer Orde Baru/Golkar, mengakibatkan nama
Indonesia menjadi terpuruk di mata banyak gerakan rakyat Asia-Afrika dan
dunia umumnya. Penggulingan Bung Karno yang didahului oleh pembunuhan jutaan
warganegara Indonesia dan diiringi pula oleh pemenjaraan ratusan ribu orang
tidak bersalah selama puluhan tahun, mereka anggap sebagai noda besar atau
dosa monumental.
- Ketokohan besar Bung Karno sebagai pemimpin bangsa tidak bisa ditiru atau
digantikan oleh Suharto (atau tokoh Orde Baru lainnya!). Karena,
ketokohan Bung Karno ini telah dibangun dalam perjuangannya sejak tahun
1926, dan sejak dalam penjara Sukamiskin (Bandung). Ketokohannya ini sudah
muncul dalam Indonesia Menggugat. Dari latar-belakang sejarah yang ini
saja sudah nampak perbedaannya yang besar dengan ketokohan Suharto.
Kepemimpinan Suharto selama Orde Baru makin menunjukkan dengan jelas
perbedaan yang besar antara mereka.
- Kalau Bung Karno melahirkan sejumlah gagasan-gagasan besar tentang
perjuangan untuk kepentingan rakyat dan pembangunan bangsa (ingat, antara
lain : Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945) maka pengalaman selama lebih dari 32
tahun menunjukkan bahwa Suharto (dan kawan-kawannya di Orde Baru/Golkar)
tidak bisa menciptakan gagasan-gagasan besar. Bahkan sebaliknya, Suharto
beserta Orde Baru/Golkar-nya telah merusak gagasan-gagasan besar Bung Karno,
yang akibatnya adalah keadaan seperti yang sedang dihadapi oleh bangsa dan
negara kita dewasa ini.
PERISTIWA PENTING YANG DILUPAKAN
Dengan melihat latar-belakang yang demikian, maka orang bisa mengerti
mengapa setelah Bung Karno digulingkan oleh para pendiri Orde Baru/Golkar,
maka banyak hal yang bersangkutan dengan KWAA atau PWAA kemudian juga
seolah-olah menghilang dari persoalan bangsa Indonesia. Disebabkan oleh
politik Orde Baru, maka semakin lama semakin banyak orang yang melupakannya.
Bahkan, banyak orang yang sekarang ini tidak tahu bahwa ada peristiwa yang
begitu penting dalam sejarah dunia kewartawanan Indonesia.
Politik Orde Baru adalah, sebisa mungkin (dan dengan segala cara)
mengkerdilkan atau menghilangkan peran Bung Karno dalam segala hal,
termasuk juga hal-hal yang berkaitan dengan terselenggaranya KWAA. Orde
Baru melihat hubungan yang erat antara politik Bung Karno dengan arah
politik Konferensi Bandung dan arah politik yang dianut oleh KWAA (dan
PWAA). Di antara cara-cara untuk mengkerdilkan atau menghilangkan peran Bung
Karno adalah, antara lain : disebarkannya fitnah, insinuasi, atau
ungkapan-ungkapan negatif seperti : Bung Karno adalah megalomaniac (gila
terhadap segala yang besar), seorang demagog (pembangkit semangat rakyat
demi kekuasaan), seorang yang suka menonjolkan diri, seorang yang menyukai
kultus individu, seorang yang mengutamakan gebyar, dan segala macam cap
negatif lainnya, yang selama ini sudah kita dengar.
Pengalaman penyelenggaraan KWAA menunjukkan bahwa penghormatan kalangan
wartawan Indonesia dan negeri-negeri Asia-Afrika (pada waktu itu) bukanlah
karena penjilatan, bukan karena permintaannya untuk dihormati atau
disanjung-sanjung, dan pastilah bukan pula karena ia seorang yang
megalomanic atau demagog. Penghormatan kepadanya adalah karena bagi banyak
orang ia memang seorang yang patut dan berhak dihormati, baik secara
nasional mau pun internasional. Bung Karno memang adalah orang besar, berkat
kebesaran gagasan-gagasan atau ajaran-ajarannya, yang dibutuhkan untuk
menjawab perkembangan situasi pada masanya.
Pidatonya di depan KWAA adalah salah satu contoh di antara berbagai
gagasannya yang besar. Hampir selama satu jam ia berbicara (dalam bahasa
Inggris yang mempesonakan banyak peserta) tentang situasi Indonesia waktu
itu, tentang tugas-tugas revolusi rakyat Indonesia, tentang seruannya kepada
wartawan-wartawan Asia-Afrika untuk mengabdikan diri kepada perjuangan
rakyat berbagai negeri demi kesejahteraan ummat dan perdamaian. Untuk
kesekian kalinya, Bung Karno menunjukkan kepada masyarakat internasional,
siapakah dia, apa yang dicita-citakannya. Untuk kesekian kalinya pula ia
menunjukkan diri sebagai seorang yang konsisten, atau yang setia, kepada
komitmen yang sudah dipikulnya sejak muda, yaitu sebagai seorang pejuang
revolusioner yang gigih..
KWAA sudah terjadi 37 tahun yang lalu. Zaman pun sudah berobah, situasi
dalamnegeri dan situasi internasional juga sudah mengalami
perobahan-perobahan yang tidak kecil. Namun, adalah sayang sekali bahwa
peristiwa yang penting ini tidak pernah diperingati secara layak sejak
lahirnya Orde Baru. Gara-gara politik anti-Sukarno yang dianut Orde Baru,
maka para wartawan Indonesia pun banyak yang takut, atau enggan, untuk
menulis soal konferensi besar yang pernah menjadi kebanggaan nasional dan
internasional ini. Di samping itu, mungkin tidak banyak lagi bahan atau
dokumen tentang KWAA ini yang bisa ditemukan sekarang ini.
Itulah sebabnya, ketika penulis sedang mengetik artikel ini di computer
sambil mendengarkan kembali piringan hitam (diproduksi oleh Lokananta,
perusahaan Kementerian Penerangan) yang berisi pidato Bung Karno di depan
KWAA (tanggal 24 April 1963), maka terbayang kembalilah kebesaran jiwa
konferensi itu, dan kemegahan sosok Bung Karno di depan mata para wartawan
Asia-Afrika yang menghadiri peristiwa penting itu. (Penjelasan : piringan
hitam itu berjudul : Message of H.E. President Soekarno, on the opening
ceremony of the First Asian African Journalists Association).
Sungguh, para pembaca yang budiman, mendengarkan kembali pidato Bung Karno
di depan sidang pembukaan KWAA itu bisa mengingatkan orang bahwa Bung Karno
memang orang besar bangsa. Sayang, bahwa ia telah menjadi korban kejahatan
politik para pendiri Orde Baru/Golkar!
Paris, Tue, 17 Apr 2001 20:03:19 +0200
P.S. Penulis adalah salah seorang yang ikut mengumpulkan tanda-tangan di
Budapest tahun 1962, dan menjadi anggota Panitia Pusat KWAA di Jakarta.
Prangko Seri : "KONFERENSI WARTAWAN ASIA AFRICA"
Tanggal Penerbitan : 24 April 1963