TAHUN 1962
PAHLAWAN
Dr. Soetomo (lahir di
Ngepeh, Loceret, Nganjuk,
Jawa Timur,
30 Juli
1888 – meninggal di
Surabaya,
Jawa Timur,
30 Mei 1938
pada umur 49 tahun) adalah tokoh pendiri Budi Utomo, organisasi pergerakan yang pertama di Indonesia.
Pada tahun 1903, Soetomo menempuh pendidikan kedokteran di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, Batavia. Bersama kawan-kawan dari STOVIA inilah Soetomo mendirikan perkumpulan yang bernama Budi Utomo, pada tahun 1908. Setelah lulus pada tahun 1911, ia bekerja sebagai dokter pemerintah di berbagai daerah di Jawa dan Sumatra. Pada tahun 1917, Soetomo menikah dengan seorang perawat Belanda. Pada tahun 1919 sampai 1923, Soetomo melanjutkan studi kedokteran di Belanda.
Pada tahun
1924, Soetomo mendirikan Indonesian Study Club (dalam bahasa Belanda
Indonesische Studie Club atau
Kelompok Studi Indonesia) di Surabaya, pada tahun
1930 mendirikan
Partai Bangsa Indonesia
dan pada tahun 1935 mendirikan
Parindra
(Partai Indonesia Raya).
Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (lahir di Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur, 16 Agustus 1882 – meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun) bernama lengkap Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, pahlawan nasional sekarang lebih dikenal dengan nama H.O.S Cokroaminoto, merupakan seorang pemimpin salah satu organisasi yaitu Sarekat Islam (SI). Ia kemudian meninggal pada umur 52 tahun yaitu tanggal 17 Desember 1934 di Yogyakarta.
Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo.
De Ongekroonde van Java atau "Raja Jawa Tanpa Mahkota" bernama Tjokroaminoto adalah salah satu pelopor pergerakan di
indonesia
dan sebagai guru para pemimpin-pemimpin besar di
indonesia, berangkat dari pemikiran ialah yang melahirkan berbagai macam
ideologi
bangsa indonesia pada saat itu, rumah ia sempat dijadikan rumah kost para pemimpin besar untuk menimbah ilmu padanya, yaitu
Semaoen,
Alimin,
Muso,
Soekarno,
Kartosuwiryo, bahkan
Tan Malaka
pernah berguru padanya, ia adalah orang yang pertama kali menolak untuk tunduk pada
Belanda, setelah ia meninggal lahirlah warna-warni pergerakan indonesia yang dibangun oleh murid-muridnya, yakni kaum
sosialis/komunis
yang dianut oleh
Semaoen,
Muso,
Alimin,
Soekarno
yang
nasionalis, dan
Kartosuwiryo
yang
islam merangkap sebagai sekretaris pribadi. Namun, ketiga muridnya itu saling berselisih menurut paham masing-masing. Pengaruh kekuatan
politik
pada saat itu memungkinkan para pemimpin yang sekawanan itu saling berhadap-hadapan hingga terjadi
Pemberontakan Madiun 1948
yang dilakukan
Partai komunis Indonesia
karena memproklamasikan "Republik Soviet Indonesia" yang dipimpin
Muso
dan dengan terpaksa presiden Soekarno mengirimkan pasukan elite
TNI yakni
Divisi Siliwangi
yang mengakibatkan "abang" sapaan akrab Soekarno kepada Muso pemimpin Partai komunis pada saat itu tertembak mati 31 Oktober, dan dilanjutkan pemberontakan oleh
Negara Islam Indonesia(NII) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo dan akhirnya hukuman mati yang dijatuhkan oleh Soekarno kepada kawannya
Kartosuwiryo
pada 12 September 1962. Pada bulan Mei
1912, HOS Tjokroaminoto mendirikan
organisasi
Sarekat Islam
yang sebelumnya dikenal
Serikat Dagang Islam
dan terpilih menjadi ketua.
Salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan. Dari berbagai muridnya yang paling ia sukai adalah Soekarno hingga ia menikahkan Soekarno dengan anaknya yakni Siti Oetari, istri pertama Soekarno. Pesannya kepada Para murid-muridnya ialah "Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator". Perkataan ini membius murid-muridnya hingga membuat Soekarno setiap malam berteriak belajar pidato hingga membuat kawannya, Muso, Alimin, Kartosuwiryo, Darsono, dan yang lainnya terbangung dan tertawa menyaksikannya.
Tjokro meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Ia dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta, setelah jatuh sakit sehabis mengikuti Kongres SI di Banjarmasin.
Prangko Seri : "PAHLAWAN"
Tanggal Penerbitan : 5 Oktober 1962
Koleksi yang dimiliki : Sampul Hari Pertama